SEJARAH PENULISAN ALQUR'AN PADA MASA NABI MUHAMMAD
MAKALAH
SEJARAH PENULISAN AL-QUR’AN PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW.
DISUSUN
OLEH
NAMA :
YATIMAN
MATAKULIAH
: STUDY AL-QUR’AN
PROGRAM
STUDY : S2 STUDI ISLAM (PPs)
JURUSAN : ISLAM DAN PADAGOGI
KELAS : B
PROGRAM PASCASARJANA UIN RADEN FATAH
PALEMBANG
TAHUN 2018
BAB I
A. LATAR
BELAKANG
Alquran adalah sebuah kitab suci bagi orang Islam,
baik ketika masih hidup Rasullullah saw.maupun sesudah beliau wafat sampai
sekarang. Baik yang ada di kawasan timur tengah sampai di belua Eropa, Alquran
yang dulu sampai sekarang masih tetap sama. Para sejarawan dan kritikus
sejarah, baik yang orientalis maupun dari ilmuan Islam sendiri mencoba
melakukan penelitan, menulis dan mengangkat tema sentral yaitu Alquran dengan
berbagai sudut padang. Ada yang melihat dari sudut bahasa dan sasteranya, ada
yang melihat dari sudut bentuk dan huruf yang digunakannya, ada yang melihat
dari sudut pandang apa yang dikandungnya dan ada yang melihat dari sudut
pandang krolologis turunya surah dan ayat. Kesemuanya itumemberikan gambaran bahwa
Alquran bagaikan lautan luas yang dalam dan pasti tidak akan pernah selesai
dalam memperbincangkannya.
Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan
susunannya ditentukan oleh Allah swt. dengan cara tawqifi yaitu cara yang pengerjaannya tidak dibuat-buat atau asal
jadi, atau memberikan tambahan didalamnya sesuai dengan kehendak manusia.
Penggunakan metode sebagaimana metode penyusunan buku-buku ilmiah,seperti
membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam
bab-bab dan pasal-pasal, metode ini tidak terdapat dalam al-Quran al-Karim,
yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.
Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan
persoalan hukum dan kritik. Sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat,
ultimatum, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta.
Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan
tiba-tiba timbul persoalan lain sepintas tidak ada hubungan antara satu dengan
yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat dalam QS al-Baqarah /2: 216-221,1 yang mengatur hukum perang
berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan
perkawinan dengan orang-orang musyrik, dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa
ajaran-ajaran Alquran dan hukum yang tercakup didalamnya, merupakan satu
kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa
ada pemisahan antara satu dengan yang lain. Demikian ini membuktikan bahwa
Alquran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.
Pendekatan yang dilakukan dalam makalah ini adalah
pendekatan antropologis yaitu mencoba memahami Alquran dengan menggunakan
kerangka yang bertolak dari pemahaman bahwa manusia memiliki prilaku dan cara
berfikir dan bertingkah laku yang berbeda dengan manusia lainnya, dan memiliki
keaneka ragaman.2 Sekaligus menggunakan pendekatan sejarah (Historical Approach) yaitu didalamnya dibahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Dengan menggunakan Pendekatan ini segala peristiwa dapat
dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya,
siapa yang terlibat dal peristiwa tersebut.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam
memahami Alquran, karena Alquran itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit
bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini
Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal
ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Alquran ia sampai
pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Alquran itu terbagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi
kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.3
Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang
kekal dan mukjizatnnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan.
Al-Qur’an diturunkan Allah SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang
gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka kejalan yang lurus.
Dalam catatan sejarah dapat
dibuktikan bahwa proses kodifikasi dan penulisan Al-Qur’an dapat menjamin
kesuciannya secara meyakinkan. Al-Qur’an ditulis sejak Nabi masih hidup, begitu
wahyu turun kepada Nabi,Nabi langsung memerintahkan para sahabat penulis wahyu
untuk menuliskannya secara hati-hati. Begitu mereka tulis,kemudian mereka
hafalan sekaligus mereka amalkan. Namun banyak dari dari pengikut Nabi Muhammad
di muka bumi ini yang tidak mengetahui bagaimana Al-Qur’an diturunkan ke muka
bumi hingga penulisan Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan mushaf Al-Qur’an.
Maka dari itu hal tersebut yang melatar belakangi pada penulisn makalah ini
dengan tema “SEJARAH PENULISAN AL-QUR’AN “ Semoga dengan ini pengikut Nabi
Muhammad SAW. Memahami akan penulisan Al-Qur’an.
1Kementeriaan
Agama RI, Mushaf Jalalain (Jakarta:
Pustaka Kibar, 2012) h. 34-35
2http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/pendekatan-dalam-studi-islam.html
(14 April 2015)
3http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/pendekatan-dalam-studi-islam.html
(13 April 2015)
B.
RUMUSAN MASALAH
Makalah ini telah disusun dengan
berbagai rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud Al-Qur’an secara Bahasa dan Istilah ?
2. Bagaimana sejarah penulisan Al-Qur’an ?
4. Mengapa Penulisan Al-qur’an ditulis berulang –ulang?
1. Apa yang dimaksud Al-Qur’an secara Bahasa dan Istilah ?
2. Bagaimana sejarah penulisan Al-Qur’an ?
4. Mengapa Penulisan Al-qur’an ditulis berulang –ulang?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa definisi dari Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui sejarah penulisan Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui penyempurnaan penulisan dari Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Al-qur’anPembahasan
Al-Qur’ān (Arab: نآﺮﻘﻟا ) adalah
kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa al-Qur'an merupakan puncak dan
penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun
iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, melalui perantaraan Malaikat
Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah saw.adalah
sebagaimana yang terdapat dalam QS Al-'Alaq/7:1-5
Ditinjau dari segi kebahasaan,
Alquran berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau
"sesuatu yang dibaca berulang-ulang".Kata Alquran adalah bentuk kata
benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga
dijumpai pada QS Al-Qiyamah/ 75:17-18
١٨ ُﮫَﻧاَءۥ ۡﺮُﻗ
ۡﻊِﺒﱠﺗﭑَﻓ ُﮫ١٧َٰﻧ ۡأُﮫَﻧاَءۥَﺮَﻗاَذِﺈَﻓۡﺮُﻗَو ُﮫَﻌۥ ۡﻤ َﺟ ﺎَﻨ ۡﯿَﻠَﻋ
ﱠنِإ
Terjemahnya
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.4
Dr. Subhi
Al Salih mendefinisikan al-Qur'an dalam bukunya Mabahits fi ulum
Alquran mengemukakan
bahwa pendapat yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa Alquran adalah bentuk masdar dengan kata qira’ah yang berarti membaca.
Diperkuat oleh pendapat lain mengatakan kata
Alquran secara harf berasal dari akar
kata qara’ah yang berarti bacaan atau
himpunan, karena ia merupakan kitab yang wajib
dibaca dan dipelajari, serta merupakan himpunan
dari ajaran-ajaran wahyu yang terbaik.5Keberadaan Alquran adalah untuk dibaca. Umat Islam harus membacanya
terus menerus sepanjang masa. Perlu diketahui bahwa Alquran merupakan ibadah
bagi yang membacanya.6
Menurut Prof. Dr. H. Muin Salim,
Alquran merupakan kitab suci umat Islam, adalah firman-firman Allah swt. yang
diwahyukan dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
peringatan, petunjuk, tuntunan dan hukum bagi kehidupan umat manusia.7
Dengan definisi tersebut di atas
sebagaimana dipercayai oleh orang Islam, firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi selain Nabi Muhammad saw, tidak dinamakan Alquran seperti Kitab Taurat
yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan
kepada umat Nabi Isa AS.
4 Kementeriaan
Agama RI, Mushaf Jalalain (Jakarta: Pustaka Kibar, 2012) h. 577
5 Harum Nasution, (ed) Ensiklopedi
Islam Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Djambatan, 1992) h. 794
6 Ibn Taymiyah al-Aqidah
al-Islamiyah, (al-Qahirah: Matabah al-Sunnah, 2003), h. 79
7
Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-qur’an, (Jakarta: Fakultas
Pascasarjana IAIN syarif
Hidayatullah, 1989), h. 24
Demikian
pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.seperti Hadits Qudsi8, yang membacanya tidak dianggap
sebagai ibadah,tidak termasuk Alquran.Kemurnian Kitab Alquran ini dijamin
langsung oleh Allah, yaitu Dzat yang menciptakan dan menurunkan Alquran itu
sendiri.Dan pada kenyataannya kita bisa melihat, satu-satunya kitab yang mudah
dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat Islam.
1.
Penulisan Alquran pada masa Nabi.
Para penulis wahyu Alquran dari sahabat-sahabat
terkemuka yang diangkat sebagai sekretaris, seperti Ali bin Abi thalib ra,
Muawiyah ra, ‘Ubai bin K’ab ra. dan
Zaid bin Tsabit ra. Setiap ada ayat turun, Nabi
memerintahkan mereka untuk menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut
dalam surah, bukan hanya pada lempengan tempat menulis harus tersusun sesuai
dengan surah yang ditunjukkan pada Nabi, tetapi juga disampaikan pada sahabat
ayat yang turun itu dalam hapalan sahabat dimasukkan pada surah yang ditunjuk,
jadi ada kecocokan antara hapalan dengan bukti fisik dari ayat yang tertulis.
sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati.9
Disamping itu sebagian sahabat
juga menuliskan Alquran yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa
diperintah oleh Rasulullah saw. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang
belulang binatang.
Zaid bin Sabit ra. berkata,”Kami
menyusun Alquran dihadapan Rasulullah pada kulit binatang.” Ini menunjukkan
betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menulis Qur’an.
Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana
tersebut. Dan dengan demikian, penulisan Qur’an ini semakin menambah hafalan
mereka.
Selain itu
malaikat Jibril as
membacakan kembali ayat
demi ayat Alquran
kepada
Rasulullah saw.pada malam-malam bulan Ramadan pada setiap tahunnya. Abdullah
bin Abbas ra. berkata,”Rasulullah adalah orang paling pemurah dan puncak
kemurahan pada
bulan Ramadan, ketika
ia ditemui oleh
malaikat Jibril as. Nabi
saw.ditemui
oleh malaikat Jibril as setiap malam, dimana Jibril membacakan Alquran kepada
beliau, dan ketika itu Nabi saw.sangat pemurah sekali.”
Para sahabat senantiasa
menyodorkan Alquran kepada Rasulullah saw.baik dalam bentuk hafalan maupun
tulisan. Tulisan-tulisan Alquran pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu
mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain.
Para ulama telah menyampaikan bahwa
segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Thalib ra, Muaz bin Jabal ra,
Ubai bin Ka’ab ra, Zaid bin Sabit ra. dan Abdullah
8Istilah “hadis qudsi ” terdiri
dari dua kata: “hadis” dan “qudsi ”.
“ Hadis” artinya ‘perkataan, perbuatan, atau persetujuan seseorang’, Sedangkan
“qudsi”, secara bahasa, artinya ‘suci’, yang selanjutnya digunakan untuk
menyebut istilah yang dinisbahkan kepada Allah ta’ala. Secara istilah, hadis
qudsi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Nabi
Muhammad saw.dari Rabbnya (Allah). Hadis qudsi juga sering diistilahkan dengan
“hadis rabbani” atau “hadis ilahi”. Sedangkan hadis yang disabdakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bukan dalam bentuk riwayat dari Allah,
disebut “hadis nabawi”.Lihat Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Al-Jami Ash-Shahih Al-Mukhtashar.(Beirut:
Dar Ibnu
Katsir, 1407 H).h. 11. Lihat juga
http://febrikaf09.student.ipb.ac.id/pengertian-hadits-qudsi-4/dan
http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits_Qudsi (17 April 2015)
9 Hadist riwayat al Bukhari dan Muslim
Kemudian Rasulullah saw.berpulang
ke rahmatullah disaat Alquran telah dihafal oleh ribuan para shahabat dan
tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas. Tiap ayat-ayat
dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap
surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi memang
benar bahwa Alquran belum lagi dijilid dalam satu mushaf yang menyeluruh. Sebab
Rasulullah saw.masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.
Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang menasahh (menghapuskan) sesuatu
yang turun sebelumnya.
Susunan atau tertib penulisan
Alquran itu tidak menurut tertib turunnya, tetapi setiap ayat yang turun
dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Rasulullah
saw. Beliau sendiri yang menjelaskan bahwa ayat anu
harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) Qur’an itu
seluruhnya dikumpulkan diantara dua cover
sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu
akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi.
Az-Zarkasyi
berkata, “Alquran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman
Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh
sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Alquran turun semua, yaitu
dengan wafatnya Rasulullah.” Dengan
pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan
dari Zaid bin Sabit ra. yang mengatakan,”Rasulullah telah wafat sedang Alquran
belum dikumpulkan sama sekali.”
Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum
dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.10
Al-Katabi berkata,”Rasulullah
tidak mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu
ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa
turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf
secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar
kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Dan hal
ini
terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar ra. atas pertimbangan usulan Umar
ra.”
2.
Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu Bakar.
Abu Bakar ra. menjalankan urusan
Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar
berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera
menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad
itu.
Peperangan Yamamah yang terjadi
pada tahun 12 H11 melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Alquran. Dalam peperangan
ini tujuh puluh qari’ (penghafal
10http://sapiterbang.blogsome.com/2006/01/13/sejarah-penulisan-al-quran-siapa-yang-melaku
kan-mengapa-dan-bagaimana/ (14 April 2015)
11Petempuran Yamamah terjadi pada
Desember 632 M di jazirah Arab pada
wilayah Yamamah antara Khalifah Abu Bakarmelawan Musailamah al-Kazzab
yang mengaku
sebagai nabi. Dalam Pertempuran
tersebut Musailamah al-Kazzab
berserta 7000 pasukannya
dipukul
mundur ke benteng pertahanannya. Pasukan
Muslim tetap maju untuk menumpas Musailamah hingga ke
Alquran) dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab
ra. merasa sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar ra.
dan mengajukan usul kepadanya agar
mengumpulkan
dan membukukan Alquran karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan
Yamamah telah banyak membunuh para qari’.
Di segi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau
peperangan di tempat-tempat lain akan membunuh banyak qari’ pula, sehingga
Alquran akan hilang dan
musnah, awalnya Abu Bakar ra. menolak usulan itu
dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
Tetapi Umar ra. tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar ra.
untuk menerima usulan tersebut, kemudian Abu Bakar ra. memerintahkan Zaid bin
Sabit ra, mengingat kedudukannya dalam masalah qiraat, kemampuan dalam masalah
penulisan, pemahaman dan kecerdasannya, serta kehadirannya pada pembacaan yang
terakhir kali. Abu Bakar ra. menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan
Umar. Pada mulanya Zaid ra. menolak seperti halnya Abu Bakar ra. sebelum itu.
Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid ra. dapat menerima dengan
lapang dada perintah penulisan Alquran itu.12
Zaid ra. melalui tugasnya yang
berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qari’ dan
catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran (kumpulan) itu
disimpan di tangan Abu Bakar ra. Zaid ra. berkata,”Abu Bakar
ra. memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai
korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata: ‘Umar
telah datang kepadaku dan
mengatakan bahwa perang Yamamah telah menelan
banyak korban dari kalangan penghafal Alquran dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya
para penghafal Alquran itu juga akan terjadi djuga i tempat-tempat lain,
sehingga sebagain besar Alquran akan musnah. Ia menganjurkan agar aku
memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Alquran.
Pada masa Kekhalifahan Abu Bakar, Zaid bin Tsabit mendapat tugas
sangat
penting untuk membukukan Alquran. Abu Bakar ra memanggilnya dan
mengatakan, “Zaid, engkau adalah seorang penulis wahyu kepercayaan Rasulullah,
dan engkau
adalah pemuda cerdas yang kami percayai sepenuhnya.Untuk
itu aku minta engkau
dapat menerima amanah untuk mengumpulkan ayat-ayat Alquran dan
membukukannya.” Zaid, yang tak pernah menduga mendapat tugas seperti ini
memberikan jawaban yang sangat
terkenal dalam memulai tugas beratnya mengumpulkan dan membukukan Alquran:
“Demi Allah, mengapa engkau akan
lakukan sesuatu
yang tidak Rasulullah lakukan? Sungguh ini pekerjaan berat bagiku.
Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit,
maka hal itu tidaklah seberat tugas yang kuhadapi kali ini.”
Akhirnya setelah
melalui musyawarah yang ketat, Abu Bakar Ra dan Umar bin Khaththab dapat
meyakinkan Zaid bin Tsabit dan sahabat yang lain, bahwa langkah pembukuan ini
adalah langkah yang baik. Hal-hal yang mendorong segera dibukukannya Alquran,
di antaranya mengingat banyaknya para hafidz Alquran yang
benteng pertahanannya dan berhasil
menjebol pertahanan pasukan Musailamah.Pada akhirnya Musailamah dapat ditombak
oleh Wahsyi dan seluruh pasukannya dapat dikalahkan dalam pertempuran ini.
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Yamamah (17April 2014)
12Lihat Muhammad Bakr Isma’il, Dirasah fi Ulumul al-Qur’an dalam
Mardan, Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an secara
Utuh, (Jakarta: Pustaka Mapan, 2009) h. 68
syahid. Dalam pertempuran “Harb
Riddah” (kaum murtad) yang dipimpin Musailamah Al-Kazzab, sebanyak 70 sahabat
yang hafal Alquran menemui syahid.
Pertimbangan-pertimbangan
inilah, Zaid bin Tsabit menyetujui tugas ini dan segera membentuk tim khusus.
Zaid membuat dua butir outline persyaratan pengumpulan ayat-ayat. Kemudian
Khalifah Abu Bakar menambahkan satu persyaratan lagi. Jadilah ketiga
persyaratan tersebut:
Pertama, ayat/surat tersebut harus dihafal paling sedikit dua orang.
Kedua, harus ada dalam bentuk tertulisnya (di batu, tulang, kulit dan
bentuk hardcopy lainnya).
Ketiga, untuk yang tertulis, paling tidak harus ada dua orang saksi yang
melihat saat dituliskannya.
Dengan persyaratan
tersebut, Zaid bin Tsabit memulai pekerjaan berat ini dan membawahi beberapa
sahabat lain. Maka aku pun mulai
mencari Alquran. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, dari keping-kepingan batu
dan dari hafalan para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah
At-Taubah berada pada Abu
Huzaimah
Al-Anshari, yang tidak kudapatkan pada orang lain, yang berbunyi Sesungguhya
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri… hingga
akhir surah.
Lembaran-lembaran tersebut
kemudian disimpan ditangan Abu Bakar ra. hingga wafatnya. Sesudah itu berpindah
ke tangan Umar ra. sewaktu masih hidup dan selanjutnya berada di tangan Hafsah
binti Umar ra.
Zaid bin
Sabit ra. bertindak sangat teliti dan hati-hati. Ia tidak mencukupkan
pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan.
Kata-kata Zaid dalam keterangan di atas,”Dan aku dapatkan akhir surah at-Taubah
pada Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak aku dapatkan pada orang lain”,
tidaklah menghilangkan arti keberhati-hatian
tersebut dan tidak pula berari bahwa akhir surah
At-Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak
mendapat akhir surah Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu
Khuzaimah. Sedangkan Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak diantara para
sahabat yang menghafalnya.
Perkataan itu lahir karena Zaid
berpegang pada hafalan dan tulisan, jadi akhir surah Taubah itu telah dihafal
oleh banyak sahabat. Dan mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi
catatannya hanya terdapat pada Abu Khuzaimah al-Ansari.
Ibn Abu Daud meriwayatkan melalui
Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan,”Umar datang lalu
berkata,”Barang siapa menerima dari Rasulullah saw. sesuatu dari Alquran,
hendaklah ia menyampaikannya.”
Mereka menuliskan Alquran itu
pada lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma. Dan Zaid ra. tidak mau
menerima dari seseorang sebelum disaksikan oleh dua orang saksi. Ini
menunjukkan bahwa Zaid ra. tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata
sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran
langsung dari Rasulullah saw, sekalipun Zaid ra. sendiri hafal. Beliau bersikap
demikian ini karena sangat berhati-hati.
Diriwayatkan pula oleh Ibn Abu
Daud melalui Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata pada Umar
dan Zaid, “Duduklah kamu berdua di pintu
masjid.
Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab
Allah, maka tulislah.”
Para perawi hadis ini orang-orang
terpercaya, sekalipun hadits tersebut munqati,(terputus). Ibn Hajar mengatakan,
“Yang dimaksudkan dengan dua orang saksi adalah hafalan dan catatan.”
As-Sakhawi
menyebutkan dalam kitab Jamalul Qurra’, yang dimaksdukan ialah
kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu
ditulis dihadapan Rasulullah. Atau dua orang saksi itu menyaksikan bahwa
catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Alquran diturunkan.
Abu
Syamah berkata,”Maksud mereka adalah
agar Zaid tidak
menuliskan
Alquran kecuali diambil dari sumber asli yang
dicatat dihadapan Nabi, bukan semata-mata dari hafalan. Oleh sebab itu Zaid
berkata tentang akhir surah At -Taubah,”Aku tidak mendapatkannya pada orang
lain”, sebab ia tidak menganggap cukup hanya didasarkan pada hafalan tanpa
adanya catatan.”
Kita sudah mengetahui bahwa
Qur’an sudah tercatat sebelum masa itu, yaitu pada masa Nabi. Tetapi masih
berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar
memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam
satu
mushaf, dengan ayat-ayat dan surah -surah yang tersusun serta dituliskan dengan
sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Qur’an diturunkan.
Dengan demikian Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Alquran
dalam
satu
mushaf dengan cara seperti ini, disamping terdapat pula mushaf-mushaf pribadi
pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali ra, Ubai dan Ibn Mas’ud ra. Tetapi
mushaf-
mushaf itu tidak ditulis dengan
cara-cara diatas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh
ketelitian dan kecermatan. Juga tidak dihimpun
secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak dimansuk dan
secara ijma’ sebagaimana mushaf Abu Bakar.
Keistimewaan-keistimewaan ini hanya ada pada himpunan Alquran yang
dikerjakan Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa
penamaan Alquran dengan ‘mushaf’ itu baru muncul sejak saat itu, yaitu saat Abu
Bakar mengumpulkan Alquran. Ali ra. berkata,”Orang yang paling besar pahalanya
dalam hal mushaf ialah Abu Bakar
ra. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu
Bakar ra. Dialah orang yang pertama mengumpulkan kitab Allah.”
3.
Pengumpulan Alquran pada Masa Usman
Penyebaran Islam bertambah dan
para penghafal Alquran pun tersebar di berbagai wilayah. Dan penduduk di setiap
wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari
qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara
pembacaan (qiraat) Alquran yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan
perbedaan ‘huruf ‘ yang dengannya Alquran
diturunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu
pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran dengan
adanya perbedaan qiraat ini. Terkadang sebagian mereka merasa puas, karena
mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada
Rasulullah.
Tetapi keadaan demikian bukan
berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat
Rasulullah sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang
lebih baku. Dan pada gilirannya akan menimbulkan saling bertentangan bila terus
tersiar. Bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang
demikian ini harus segera diselesaikan.
Ketika terjadi perang Armenia dan
Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat
itu ialah Huzaifah bin al-Yaman ra. Beliau banyak melihat perbedaan dalam
cara-cara membaca Alquran. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan,
tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta
menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling
mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan
melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga memberitahukan
kepada Huzaifah ra. bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada
orang-orang yang mengajarkan qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh,
sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat
memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu
akanmenimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin
lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat
islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf.
Usman ra. kemudian mengirimkan
utusan kepada Hafsah ra. untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar ra. yang ada
padanya dan Hafsah ra. pun
mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya.
Kemudian Usman ra. memanggil Zaid bin Tsabit ra, Abdullah bin Az-Zubair ra,
Said bin ‘As ra. dan Abdurrahman bin Haris
bin Hisyam ra. Ketiga orang terakhir ini adalah
orang quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf,
serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid ra. dengan ketiga
orang quraisy itu ditulis dalam bahasa
Quraisy, karena Qur’an turun dengan logat
mereka. Dari Anas ra,”Huzaifah bin al-Yaman ra. datang kepada Usman ra, ia
pernah
ikut berperang
melawan penduduk Syam
bagian Armenia dan
Azarbaijan bersama
dengan penduduk Iraq. Huzaifah amat terkejut dengan
perbedaan mereka dalam bacaan, lalu ia berkata kepada Utsman ra,”Selamatkanlah
umat ini sebelum mereka terlibat
dalam perselisihan (dalam masalah kitab)
sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani.”
Utsman
ra. kemudian mengirim surat kepada Hafsah ra. yang isinya,”Sudilah
kiranya anda kirimkan lembaran-lembaran yang berisi
Alquran itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami
akan mengembalikannya.”
Hafsah ra. mengirimkannya kepada Usman ra. dan
Usman ra. memerintahkan Zaid bin Sabit ra, Abdullah bin Zubair ra, Sa’ad bin
‘As ra. dan Abdurrahman bin Haris bin
Hisyam ra. untuk menyalinnya. Mereka pun
menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Usman ra. berkata kepada ketiga orang
quraisy itu,”Bila kamu berselisih pendapat
dengan Zaid bin Sabit ra. tentang sesuatu dari
Alquran, maka tulislah dengan logat quraisy karena Alquran diturunkan dengan
bahasa quraisy.”
Mereka melakukan perintah itu.
Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Usman ra.
mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah ra. Kemudian Usman ra.
mengirimkan salinan ke setiap wilayah dan memerintahkan
agar
semua Alquran atau mushaf lainnya dibakar. Dan ditahannya satu mushaf untuk di
Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama “mushaf Imam.”
Penamaan mushaf itu sesuai dengan apa yang terdapat
dalam riwayat-riwayat dimana ia mengatakan, ” Bersatulah wahai umat-umat
Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman).”
Ibn Jarir
mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Usman:
‘Ia
menyatukan umat Islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang
lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar
setiap orang yang mempunyai mushaf ‘berlainan’ dengan mushaf yang disepakati
itu membakar mushaf tersebut, umat
pun mendukungnya dengan taat dan mereka melihat
bahwa dengan begitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat
bijaksana. Maka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf lainnya sesuai
dengan permintaan pemimpinnya yang adil itu, sebagai bukti ketaatan umat
kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya.
Dengan demikian segala qiraat
yang lain sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada. Sekarang
sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf itu
dan kaum muslimin juga telah menolak qiraat dengan huruf-huruf yang lain tanpa
mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya. Tetapi hal itu bagi
kebaikan kaum muslimin itu sendiri.
Apabila sebagian orang lemah
pengetahuan bertanya bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah
dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu?, Maka
jawab ialah bahwa perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu
bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan
kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf
itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari
ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk
menyampaikannya dan keraguan harus dihilangkan dari para qari.
4.
Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan
Usman.
Dari teks-teks di atas jelaslah
bahwa pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar ra. berbeda dengan pengumpulan yang
dilakukan Usman ra. dalam motif dan caranya. Motif Abu Bakar adalah
kekhawatiran beliau akan hilangnya Alquran karena banyaknya para penghafal
Alquran yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban. Sedang motif
Usman ra. dalam karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Alquran yang
disaksikannnya sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan antara
satu dengan yang lain.
Pengumpulan Alquran yang
dilakukan Abu Bakar ra. ialah memindahkan satu tulisan atau catatan Alquran
yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang, dan pelepah kurma,
kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya
yang tersusun serta terbatas dalam satu mushaf.
Al-Haris al-Muhasibi mengatakan
bahwa yang masyhur di kalangan orang banyak ialah bahwa pengumpul Alquran itu
Usman ra. Padahal sebenarnya tidak demikian, Usman ra. hanyalah berusaha
menyatukan umat pada satu macam (wajah) qiraat, itupun atas dasar kesepakatan
antara dia dengan kaum muhajirin dan anshar yang hadir dihadapannya. Serta setelah
ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi karena
penduduk Iraq dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum
itu mushaf-mushaf itu dibaca dengan berbagai macam
qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana Qur’an diturunkan. Sedang
yang lebih dahulu mengumpulkan Qur’an secara keseluruhan (lengkap) adalah Abu
Bakar as-Sidiq. Dengan usahanya itu
perselisihan serta menjaga isi Qur’an dari penambahan dan penyimpangan
sepanjang zaman.13
5.
Pemberian Harakat (Nuqath al-i’rab).
Sebagaimana
telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama
adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca
yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) yang lazim kita temukan
hari ini dalam berbagai edisi mushaf
Alquran. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan
agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima
lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika
naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah
tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap
mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing.
Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat
terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlangsung selama kurang
lebih 40 tahun lamanya.
Dalam masa itu, terjadilah
berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru. Konsekwensi dari
perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk
ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi
muslimin Arab dengan orang-orang non Arab Muslim
ataupun non Muslim. Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan
dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn
(kesalahan dalam
membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang
tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di
kalangan muslimin Arab sendiri.
Tidak bisa dipungkiri bahwa,
dalam ilmu antropologi budaya, perbendaan manusia dari segi budaya tetap ada,
oleh karena itu, bahasa, dialek memungkinkan adanya perbedaan antara satu
bangsa dengan lainnya.
Hal ini kemudian menjadi sumber
kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat
mushaf Alquran yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu
baca berupa titik dan harakat.
Dalam
beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide
pemberian tanda bacaan terhadap mushaf Alquran
adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin
Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu
diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya,
‘Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat ‘Ubaidullah datang menghadapnya,
Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah
pun mengirimkan
surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa
buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly.14
“Sesungguhnya orang-orang
non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab.
Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat
memperbaiki
bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca Alquran dengan benar.”
Abu al-Aswad sendiri pada mulanya
menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam
‘perangkap’ kecil untuk mendorongnya
13Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Madkal
li Dirasat al-qur’an al-Qarim, (Cet. I; al-Qahirah: Maktabah al-Sunnah,
1992) h. 302
14Lihat Mardan, Al-Qur’an, Sebuah
pengatar Memahami al-Qur’an, h. 79
memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh seseorang
untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika
Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat Alquran tapi
lakukanlah lahn terhadapnya!” Ketika
Abu al-
Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:
َﻦﻴِﻛِﺮْﺸُﻤْﻟاﻣ
ٌءيِﺮَﺑَﻪّﻠﻟانَأِﺮَﺒْﻛَﻷاﺞَﺤْﻟاَمْﻮَﻳِسﺎﻨﻟا ﻰَﻟِإﻪِﻟﻮُﺳَرَوِﻪّﻠﻟاَﻦﻣ ٌناَذَأَو ِﺮﺸَﺑَوِﻪّﻠﻟايِﺰِﺠْﻌُﻣُﺮْﻴَﻏْﻢُﻜﻧَأْاﻮُﻤَﻠْﻋﺎَﻓﻢُﺘْﻴﻟَﻮَﺗنِإَوْﻢُﻜﻟ
ٌﺮْﻴَﻮُﻬَﻓﺧْﻢُﺘْﺒُﺗنِﺈَﻓُﻪُﻟﻮُﺳَرَو
﴾٣﴿ ٍﻢﻴِﻟَأٍباَﺬَﻌِﺑْاوُﺮَﻔَﻛَﻦﻳِﺬﻟا
Terjemahnya
Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan
Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah
dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu
(kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu
berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan
Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih.
Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”. Bacaan itu didengarkan
oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak
mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!” ujarnya. Inilah yang kemudian
membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh
Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk membantu
usahanya itu. Tanda pertama yang
diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-i’rab). Metode pemberian
harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca Alquran dengan hafalannya, lalu stafnya
sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata
dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut.
Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan
satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin
ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca Alquran
dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman, Abu
al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.15
Murid-murid
Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru
dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang
menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah),
ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula
yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang
dikosongkan bagian tengahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian
menambahkan tanda sukun (yang
menyerupai
bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan
di bagian atas huruf. Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy,
nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan
sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah misalnya
berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah
berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah
lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka.
Namun lagi-lagi perlu ditegaskan,
15http://arabic.web.id/sejarah-muncul-nya-ilmu-nahwu-tata-bahasa-arab/
(17 April 2015)
bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi
apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan
Allah kepada Rasulullah saw.
6.
Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf
ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda
ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-
huruf
yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti
pada huruf ب(ba),(ت)ta(, )ثtsa(. Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama,
huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik
pembeda. Salah satu hikmahnya adalah seperti telah disebutkan untuk
mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring
dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin
Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian
mendorong penggunaan tanda ini.
Ada beberapa
pendapat yang berbeda
mengenai siapakah yang
pertama kali
menggagas
penggunaan tanda titik ini untuk mushaf Alquran. Namun pendapat yang paling
kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar. Ini
diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada
al-Hajjaj bin
Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95
H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat.
Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini,
sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.
Setelah melewati berbagai
pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk
membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam16. Penerapannya adalah sebagai berikut:
a.
untuk membedakan antara دdal dan
ذdzal, رra’ dan زzay, صshad dan ضdhad, طtha’ dan ظzha’, serta ع‘ain dan غ
ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik
(al-ihmal), sedangkan huruf-huruf
yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
b.
untuk pasangan سsin dan ش syin,
huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin)
diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan
pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun.
Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada
huruf-huruf ب ba’, ت ta, ث tsa, ن nun, dan يya’.
c.
untuk rangkaian huruf جjim, حha’,
dan خkha’, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua
diabaikan.
d.
sedangkan pasangan فfa’ dan ق
qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan
dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di
wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua
titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat
Islam
(Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik
atas untuk qaf.
16Al-ihmal adalah
membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam
adalah memberikan titik pada
huruf.
Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya
berbentuk lingkaran, lalu berkembang
menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda
titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan
dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath
al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Dan
tradisi ini terus berlangsung hingga akhir
kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132
H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam
penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam
mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk
harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah
untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada
sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna
berbeda untuk membedakan jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir
sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski
berbeda untuk yang lainnya.
Akhirnya, naskah-naskah mushaf
pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah
dijelaskan, baik nuqath al-i’rab
maupun nuqath al-i’jam, keduanya
ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber
kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Di
sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia
kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif
kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’
kecil dibawahnya dan dhammah dengan
bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin
dibentuk dengan mendoublekan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping
beberapa tanda lain.
Terkait
dengan hal ini, ada suatu fakta sejarah yang unik. Yaitu bahwa tanda titik
(nuqath
al-i’jam) ternyata telah dikenal dalam tradisi Bahasa Arab kuno pra Islam
atau setidaknya pada masa awal Islam sebelum mushaf ‘Utsmani ditulis. Ada
beberapa
penemuan kuno yang menunjukkan hal tersebut, antara lain
a.
Batu nisan Raqusy (di Mada’in
Shaleh), sebuah inskripsi Arab sebelum Islam yang tertua. Diduga ditulis pada
tahun 267 M. Batu nisan ini mencatat adanya tanda titik di atas huruf dal, ra’
dan syin.
b.
Dokumentasi dalam dua bahasa di
atas kertas papyrus, tahun 22 H (sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional
Austria). Dokumentasi ini menunjukkan penggunaan titik untuk huruf nun, kha,
dzal, syin, dan zay.
Ditambah dengan beberapa temuan lainnya, setidaknya
hingga tahun 58 H. Terdapat 10 karakter huruf yang diberi tanda titik, yaitu:
nun, kha, dzal, syin, zay, ya,
ba, tsa, fa, dan ta.Sehingga tepatlah jika disimpulkan bahwa apa yang
dilakukan oleh Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar adalah sebuah upaya
menghidupkan kembali
tradisi itu dengan beberapa inovasi baru yang disesuaikan dengan
kebutuhan.
7.
Antara Rasm ‘Utsmani dan Rasm Imla’i
Sebagaimana yang diketahui, bahwa
cara penulisan (rasm) yang terdapat dalam mushaf ‘Utsmany berbeda dan tidak
sama dengan cara penulisan yang umum digunakan dalam aturan-aturan imla’ Bahasa
Arab. Karena itu para ulama membagi metode penulisan huruf Arab menjadi 2
jenis: rasm ‘Utsmany dan rasm imla’i. Jenis yang
pertama khusus digunakan untuk penulisan ayat
Alquran sesuai dengan mushaf ‘Utsmany. Sedangkan yang kedua adalah aturan baku
yang umum digunakan untuk
penulisan kata-kata Arab sebagaimana ia diucapkan.
Untuk
keperluan ini, para ulama Alquran kemudian menyusun sebuah ilmu yang
dikenal
dengan nama ilmu Rasm Alquran. Diantara karya yang mengulas ilmu ini adalah
al-Muqni’ karya Abu ‘Amr al-Dany dan al-Tanzil karya Abu Dawud Sulaiman
bin Najah.
Penulisan Alquran berdasarkan
rasm ‘Utsmany memiliki banyak hikmah sebagaimana disebutkan oleh para ulama
qira’at. Tapi salah satu yang terpenting adalah dengan metode ini ragam qira’at
yang berbeda dapat terwakili dalam mushaf ‘Utsmany.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa ada upaya untuk
mengganti sistem rasm ‘Utsmany dengan sistem imla’ yang umum berlaku. Dengan
alasan bahwa itu akan
lebih memudahkan pembacaan. Meskipun ini kemudian
terbantahkan dengan dasar bahwa metode inilah yang digunakan oleh para sahabat
menuliskan Alquran di hadapan Rasulullah saw. Karena itu ia kemudian bersifat
tauqifiyah Adapun jika alasannya adalah untuk memudahkan pembacaan, maka itu
terbantahkan dengan kenyataan bahwa sejauh ini sejak 1400 tahun lamanya, hampir
tidak ada masalah berarti di tengah kaum muslimin dalam membaca Alquran.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu.
1.
Cara penulisan Alquran pada masa
rasulullah adalah dengan mengangkat beberapa orang penulis yang dianggap mahir
dan dipercaya oleh Nabi. Penulisannya di berbagai media yang merupakan hardkopy
dari ayat yang dibacakan oleh Nabi saw.sekaligus juga dihafalkan ayat tersebut
dalam hati.
2. Sepeninggal
Rasulullah saw. banyak penghapal Alquran wafat di medang perang sehigga Umar
ra. Mengajukan usulan kepada Abu Bakar agar dilakukan pengumpulan hardkopy
menjadi sebuah mushab tersebut dari berbagai media kemudian disatukan dan
disusun berdasarkan surah yang telah disampaikan oleh Nabi.
3. Pengumpulan
atau penyalinan Alquran kembali dilakukan untuk memberi salinan tersebut kepada
wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Islam, sebagai upaya untuk
meminimalisisr perbedaan terutama bacaan, karena adanya perbedaan bacaan
disetiap tempat disebabkan faktor dialek dan bahasa yang berbeda.
4. Perkembangan
selanjutnya sesudah Khulafaurrasyidin adalah pemberikan tanda baca, yang
merupakan hasil kreatifitas dan ijtihad agar terhindar dari kekeliruan dalam
pembacaan Alquran sehingga bisa terpelihara sampai sekarang.
B. SARAN
Kita sebagai umat islam seharusnnya
lebih giat untuk membaca dan mengamalkan isi ajaran yang terkandung didalam
Al-Qur’an. Sebagaimana para sahabat nabi yang telah berupaya
mengumpulkan,menuliskan, serta merapikan susunan isi Al-Qur’an namun tidak
merubah satu kata pun isi ketika awal turun kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebagai penyusun, kami merasa masih
ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami mohon kritik
dan saran dari pembaca, agar kami dapat memperbaiki makalah yang selanjutnnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kementeriaan
Agama RI, Mushaf Jalalain, Jakarta: Pustaka Kibar, 2012
Harum Nasution, (ed) Ensiklopedi
Islam Indonesia, Cet. I; Jakarta: Djambatan, 1992
Ibn Taymiyah al-Aqidah al-Islamiyah,
al-Qahirah: Matabah al-Sunnah, 2003
Muin Salim, Konsepsi
Kekuasaan Politik dalam Alquran, Jakarta: Fakultas Pascasarjana IAIN syarif
Hidayatullah, 1989
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Al-Jami Ash-Shahih Al-Mukhtashar.Beirut:
Dar Ibnu Katsir, 1407 H
http://febrikaf09.student.ipb.ac.id/pengertian-hadits-qudsi-4/
dan http:
//id. wikipedia. org/wiki/Hadits_Qudsi (17 April 2015)
Hadist
riwayat al Bukhari dan Muslim
Muhammad
Bakr Isma’il, Dirasah fi Ulumul Alquran
dalam
Mardan, Alquran Sebuah Pengantar Memahami Alquran secara Utuh, Jakarta:
Pustaka Mapan, 2009
Muhammad bin Muhammad Abu
Syahbah, al-Madkal li Dirasat Alquran
al-Qarim, Cet. I; al-Qahirah: Maktabah al-Sunnah, 1992
http://arabic.web.id/sejarah-muncul-nya- ilmu- nahwu- tata- bahasa-arab/ (17 April 2015)
http://sapiterbang.blogsome.com/2006/01/13/sejarah-penulisan-al-quran-siapa-yang-melaku
kan-mengapa-dan-bagaimana/ (14 April 2015)
http://sapiterbang. blogsome. Com /2006/01/13/
sejarah –penulisan -al-quran-siapa-yang-melakukan-mengapa-dan-bagaimana/
http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/ pendekatan -dalam -studi
-islam. html http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/ pendekatan –dalam –studi
-islam. html (13
April 2015)
http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Yamamah (17April 2014)
|
Komentar
Posting Komentar